Kamis, 22 September 2011

Memaafkan dan Melupakan, Bagaimana?

 Oleh:  Nugraha AMIjaya
 
Saudaraku budiman,

Nuansa lebaran Idul Fitri dengan budaya silaturahmi dan saling memaafkan masih mewarnai hari-hari kita, baik di lingkungan keluarga, masyarakat maupun pekerjaan. Kita merasakan kerukunan dan cinta kasih telah menghadirkan keindahan dan kebahagiaan dalam hidup kita. Sungguh mulia kita ketika mampu berjiwa besar untuk mau memohon maaf dan memaafkan. Memohon maaf karena kita menyadari dan mengakui kesalahan dan kekhilafan kita dapat berpotensi untuk menciptakan konflik atau menimbulkan emosi negatif pada orang lain maupun lingkungan. Memaafkan karena kita menyadari bahwa manusia tidak luput dari kekhilafan dan kesalahan yang disadari maupun tidak disadari karena kondisi internal mereka yang kurang memungkinkan mereka merespon secara positif atas ucapan dan tindakan kita.

Mungkin kita bertanya, bagaimana kita mampu memaafkan dengan ikhlas? Ok, sebelum saya menjelaskan bagaimana memaafkan secara ikhlas. Marilah kita menarik nafas secara perlahan dan dalam, merasakan segarnya udara yang kita hirup mengalir ke seluruh tubuh dan mengisi seluruh rongga otak kita, memvisualisasikan warna putih bersih dalam pikiran kita. Dan kita hembuskan nafas secara perlahan, merasakan relaks yang luar biasa, serta memvisualisasikan warna hitam pekat dalam pikiran kita. Sekarang cobalah kita bertanya pada diri kita, bersediakah kita memutuskan untuk memaafkan orang lain dan merelakan manfaat dari rasa dendam di diri kita hilang? Keputusan kita sangat penting dan menentukan derajat keikhlasan kita. Coba renungkan mamfaat dari memaafkan orang lain bagi diri kita di masa sekarang dan masa depan, apakah kita berhak mendapatkan mamfaat itu sekarang?

Kita sudah memilih dan memutuskan yang terbaik untuk masa depan kita. Sadar untuk membersihkan pikiran kita dari memori dan emosi tidak produktif yang membatasi ruang gerak kita dalam berinteraksi. Dan marilah kita mengenal bagaimana memaafkan dan melupakan.

Secara hierarki, melupakan berada diatas memaafkan. Kita mampu melupakan sesuatu atau seseorang jika kita telah memaafkan. Apabila kita meyakini telah melupakan namun belum memaafkan, maka yang terjadi kita adalah membenci. Dan jika kita bertemu, melihat atau mendengar orang tersebut  di masa mendatang maka yang terjadi adalah kebencian kita akan muncul dan memori serta emosi negatif akan bergejolak dalam diri kita sehingga kita tidak mampu berpikir sehat.
Memaafkan identik dengan melupakan perilaku seseorang yang menyakiti perasaan kita tanpa melupakan orang tersebut. Sebelum kita memaafkan, berarti kita tidak menyukai perilakunya, bukan orangnya. Dan setelah memaafkan kita punya pilihan, apakah tetap berinteraksi dengan orang tersebut atau menjaga jarak dengan orang tersebut atau menjauhi orang tersebut. Ketika kita memilih untuk berinteraksi kembali dengan orang tersebut, maka kita telah siap secara mental untuk menghadapi kemungkinan perilaku buruk orang tersebut muncul kembali dan menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa. Dan kewajiban kita untuk mengarahkan dan menasehati dia untuk memperbaiki perilakunya tanpa memaksa atau menuntut dia untuk berubah sesuai keinginan kita, karena setiap orang memiliki hak untuk menjadi dirinya sendiri. Tidak ada manusia yang salah, hanya kualitas respon yang mengakibatkan seseorang menerima label atau penilaian dari orang lain, dan kualitas respon sangat ditentukan oleh suasana hati seseorang.

Ketika kita memaafkan seseorang dan tetap menjalin interaksi dengannya, apabila orang tersebut melakukan kembali perilaku buruk yang sama di masa mendatang, maka kita perlu tahu kapan waktu yang tepat untuk memberikan umpan balik guna menyadarkan dia atas kekeliruan yang diperbuatnya. Sekali lagi, memaafkan timbul untuk melupakan perilaku seseorang yang menyakiti perasaan kita bukan melupakan orang tersebut. Memaafkan tidak semata hanya sekedar ucapan saling memaafkan, lebih dari itu adalah kesadaran tindakan untuk tetap menjaga hubungan silaturahmi atau interaksi. Kita bisa melihat bentuk memaafkan dalam hubungan suami istri, pertemanan, anak dan orang tua, atasan dan bawahan, sepanjang tidak menimbulkan perceraian, pemutusan hubungan kerja atau pencapan anak durhaka.

Dan tingkat tertinggi adalah melupakan. Ketika kita memaafkan seseorang namun kita tidak mau untuk mendapatkan perlakuan atau perilaku buruk yang sama dari orang tersebut di masa datang maka kita telah melupakan orang tersebut. Melupakan adalah menghilangkan semua memori atau kenangan dengan seseorang dari pikiran dan perasaan kita sehingga tidak ada akses kembali terhadap orang tersebut. Jika kita memilih untuk melupakan maka kita siap menerima resiko untuk putus tali silaturahmi dan kontak komunikasi dengan orang tersebut. Kita akan menjadikan orang tersebut sebagai orang lain atau tidak pernah ada dalam kehidupan kita. Kita bisa melihat bentuk melupakan seperti perceraian dalam keluarga, pengunduran diri atau pemutusan hubungan kerja, pencabutan dari marga atau silsialah keluarga.

Melupakan adalah keputusan final yang bisa kita ambil dalam menyikapi masalah terkait hubungan antar personal. Namun ajaran agama menganjurkan kita tetap menjaga tali silaturahmi untuk memperpanjang usia dan menghindarkan diri dari bencana, maka seyogyanya kita berusaha untuk tetap mampu memaafkan. Insya Allah, dengan menjaga suasana hati kita maka kita mampu memberikan kualitas respon positif dan kita mempunyai jiwa besar untuk memaafkan.
 
Salam sukses dan bahagia selalu untuk kita,
 
Nugraha AMIjaya
Senin, 5 September, 2011 01:09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar