Senin, 05 September 2011

Bercerita, Kemampuan Abad ke-21 (Bagian 1)

Oleh: Budi Setiawan

Masih ingat dongeng kancil? Putri salju? Atau pendongeng seperti Kak Seto dengan Si Komo? Kapan terakhir melihat orang mendongeng atau bercerita? Sudah semakin langka? Padahal, bercerita itu kemampuan untuk sukses di abad-21 lho.

Dalam posting sebelumnya, saya memaparkan pandangan Daniel H. Pink, penulis buku provokatif dan mantan penulis pidato Al Gore, bahwa ada 6 kemampuan untuk sukses di abad-21, satu diantaranya: Bercerita. Wow! Berarti kebiasaan nenek moyang kita untuk bercerita itu sudah benar ya? Tapi sebentar, kita lihat apa yang terjadi pada kebiasaan bercerita di Indonesia beberapa waktu terakhir ini.

Dahulu kala, di negeri ini kehidupan di penuhi dengan cerita. Kemanapun tempat kita pergi akan mendengarkan orang bercerita. Orang tua bercerita pada anaknya. Para guru bercerita pada muridnya. Para ulama bercerita pada umatnya. Sampai suatu ketika datang jaman baru. Datang jaman pencerahan katanya, tapi semenjak itu kehidupan mulai berubah.

Jaman menuntut anak-anaknya belajar tekun. Orang tua harus membanting tulang untuk menghidupi keluarganya. Waktu begitu berharga. Cepat! Cepat! Sekolah cepat selesai. Cepat dapat kerja.

Orang bekerja pun memilih instruksi langsung. To the point, katanya. Atasan sudah sibuk dengan rapat, tidak sempat ngobrol dan bercerita pada bawahannya. Rapat berisi presentasi poin-poin dan rasionalisasi untuk mencapai target.
Buku-buku cerita mulai dijauhkan dari anak-anak. Di rumah-rumah, buku cerita diletakkan di tempat yang tidak mudah terjangkau oleh anak-anak. Di sekolah, jumlah buku cerita dibatasi. Tetap diperlukan karena mereka tetap harus pentas bercerita ketika kanaikan kelas.

Seorang pencerita pulang ke rumah dengan sedih. Ia menemui kenyataan pahit, bercerita yang warisan nenek moyang dianggap sia-sia, membuang-buang waktu. Bercerita cukup setahun dua kali, ketika ulang tahun dan naik kelas.
Sang pencerita semakin sedih ketika tahu banyak teman-temannya yang meninggalkan profesi sebagai pencerita. Mereka memilih berdamai dengan tuntutan hidup dan kerasnya kenyataan. Kaum pencerita yang tersisa tinggal mereka yang mencintai cerita dan bercerita.

Gelombang jaman baru sudah mendesak kaum pencerita, jadi terpinggirkan. Datanglah kemudian jaman modern. Kecepatan menjadi semakin berlipat-lipat. Teknologi mempercepat waktu, memperpendek jarak. Kalau mungkin, semua urusan diserahkan pada teknologi.

Orang tua yang bekerja keras, memilih melemparkan diri ke sofa dan nonton tv. Istirahat katanya. Anak-anak tidak perlu di dampingi, belikan mainan dan suruh nonton tv. Ketika butuh hiburan, cukup ke mall yang menyediakan segalanya, keperluan belanja, permainan hingga tontonan bioskop.
Demikianlah sekelumit kisah, bercerita terpinggirkan di negeri sejuta cerita.

Teringat sesuatu?

Hasil riset pada orang tua di pedesaaan pada 9 kabupaten di Indonesia (http://on.fb.me/osktdC) pun menunjukkan kenyataan yang mengkhawatirkan :
Pada orang tua yang mempunyai anak berusia 4 tahun, 60% tidak pernah membacakan buku dan 50% tidak pernah bercerita

Pada orang tua yang mempunyai anak berusia 2 tahun, 80% tidak pernah membacakan buku dan 70% tidak pernah bercerita

Apa yang terjadi? Apakah manfaat bercerita lebih kecil dari pada usaha dan energi untuk melakukannya?

Kenyataannya, bercerita memang menghibur, juga efektif mengkomunikasikan pesan dan mendidik. Ketika penjelasan logis menyentuh rasio, bercerita menyentuh emosi. Berceritalah yang dapat menggerakkan seseorang, bersedia membentuk perilaku baru.
Seorang psikolog pencerita, George W. Burns, mengatakan cerita berdampak pada kehidupan karena :

Menyampaikan suatu informasi secara efektif
Mengedukasi dengan menyediakan pengkait (anchor) bagi pelajaran
Mengajarkan nilai-nilai dengan memberi petunjuk perilaku yang disarankan dan dilarang
Menyediakan arahan kedisiplininan dengan menyadarkan konsekuensi dari sebuah perilaku
Menyediakan sebuah pengalaman untuk dijalani (tanpa harus dijalani secara nyata)
Memfasilitasi penyelesaian persoalan
Memfasilitasi perubahan secara efektif dan sehat


Wah banyak sekali ternyata manfaatnya cerita itu. Perlu nulis satu posting untuk setiap manfaat sepertinya (hehehe tunggu yaa….).
Bagaimana peran bercerita di abad-21? Abad-21 adalah jaman kreatif. Ada banyak perkembangan teknologi yang menghasilkan kemajuan sekaligus menghasilkan setumpuk persoalan. Butuh banyak inovasi ditengah sumber daya yang semakin terbatas. Bukan sekedar inovasi, tapi juga inovasi yang bercerita sehingga menggerakan orang untuk bertindak.

Ada begitu banyak persaingan dan penawaran yang hadir dihadapan orang. Iklan ada dimana-mana, mulai taman kota hingga di email dan sms kita, sehingga ada yang menyebutnya polusi informasi. Pemenang persaingan abad-21 adalah para pencerita hebat. Mengapa? Penceritalah yang membangun kesadaran, menumbuhkan nilai dan menggerakan orang. Pencerita menampilkan suatu penawaran dalam konteks emosi yang kuat.

Bukan sekedar presenter, tapi juga presenter pencerita. Bukan sekedar pemimpin, tapi juga pemimpin pencerita. Bukan sekedar dokter, tapi juga dokter pencerita. Bukan sekedar marketer, tapi juga marketer pencerita. Bukan sekedar guru, tapi juga guru pencerita.

Suatu ironi, ketika bercerita semakin dibutuhkan di abad-21 justru kebiasaan bercerita di negeri ini semakin berkurang. Bahkan banyak yang masih beranggapan, bercerita itu hanya untuk anak kecil. Tunda dulu keyakinan anda, baca posting bagian kedua ini.

Kamis, 11 Agustus, 2011 10:36

=========== ==========

Tidak ada komentar:

Posting Komentar